Untuk meraih keberkahan dalam hubungan intim pada pasutri, di
antaranya adalah dengan berdo’a ketika hendak mendatangi istri.
Keampuhan do’a ini akan memberikan kebaikan pada keturunan yang
dihasilkan, itu di antaranya. Juga tentunya hubungan intim yang sesuai
ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam akan semakin menambah
kemesraan karena keberkahan yang hadir ketika itu.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ فَقَالَ
بِاسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبِ
الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا . فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا
وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرُّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
Kapan Do’a Tersebut Dibaca?
Ash Shon’ani berkata bahwa hadits tersebut adalah dalil bahwa do’a
tersebut dibaca sebelum bercumbu yaitu ketika punya keinginan. Karena
dalam riwayat Bukhari lainnya disebutkan,
أَمَا لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ يَقُولُ حِينَ يَأْتِى أَهْلَهُ
“Adapun jika salah seorang dari mereka mengucapkan ketika mendatangi istrinya …” (HR. Bukhari no. 5165). Makna kata “ketika” (حِينَ) dalam riwayat ini bermakna “berkeinginan”. (Subulus Salam, 6: 91).
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9: 228) berpendapat bahwa do’a ini dibaca sebelum hubungan intim.
Begitu pula pendapat Syaikh ‘Abdul Qodir Syaibah dalam Fiqhul Islam, 7: 61-64.
Intinya, do’a ini diucapkan sebelum memulai hubungan intim dan bukan
di pertengahan atau sesudahnya. Hukum membaca do’a ini adalah sunnah
(mustahab) (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 190). Dan jika lihat
dari tekstual hadits di atas, do’a ini dibaca oleh suami.
Berkah dari Berdo’a Sebelum Hubungan Intim
Pertama: Mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini sudah merupakan berkah tersendiri. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ
شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
”Aku tidaklah biarkan satu pun yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut
jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang” (HR. Bukhari no. 3093 dan Muslim no. 1759).
Kedua: Setan tidak akan turut serta dalam hubungan
intim tersebut karena di dalam do’a ini diawali dengan penyebutan
“bismillah”. Demikian pendapat sebagian ulama. Mujahid rahimahullah
berkata,
أَنَّ الَّذِي يُجَامِع وَلَا يُسَمِّي يَلْتَفّ الشَّيْطَان عَلَى إِحْلِيله فَيُجَامِع مَعَهُ
“Siapa yang berhubungan intim dengan istrinya lantas tidak
mengawalinya dengan ‘bismillah’, maka setan akan menoleh pada
pasangannya lalu akan turut dalam berhubungan intim dengannya” (Fathul Bari, 9: 229). Ya Allah, lindungilah kami dari gangguan setan kala itu.
Ketiga: Kebaikan do’a ini pun akan berpengaruh pada
keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim tersebut. Buktinya adalah
riwayat mursal namun hasan dari ‘Abdur Razaq di mana disebutkan,
إِذَا أَتَى الرَّجُل أَهْله فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّه اللَّهُمَّ
بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقَتْنَا وَلَا تَجْعَل لِلشَّيْطَانِ نَصِيبًا
فِيمَا رَزَقْتنَا ، فَكَانَ يُرْجَى إِنْ حَمَلْت أَنْ يَكُون وَلَدًا
صَالِحًا
“Jika seseorang mendatangi istrinya (berhubungan intim), maka
ucapkanlah ‘Ya Allah, berkahilah kami dan keturunan yang dihasilkan dari
hubungan intim ini, janganlah jadikan setan menjadi bagian pada
keturunan kami’. Dari do’a ini, jika istrinya hamil, maka anak yang
dilahirkan diharapkan adalah anak yang sholeh” (Fathul Bari, 9: 229).
Keempat: Keturunan yang dihasilkan dari hubungan
intim ini akan selamat dari berbagai gangguan setan. Jika dipahami dari
tekstual hadits, yang dimaksud dengan anak tersebut akan selamat dari
berbagai bahaya adalah umum, yaitu mencakup bahaya dunia maupun agama.
Namun Al Qodhi ‘Iyadh berkata bahwa para ulama tidak memahami seperti
itu. (Minhatul ‘Allam, 7: 348).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied berkata, “Bisa dipahami dari do’a ini bahwa setan
juga tidak akan membahayakan agama anak dari hasil hubungan intim
tersebut. Namun bukan berarti anak tersebut ma’shum, artinya selamat
dari dosa” (Fathul Bari, 9: 229).
Syaikh Ibnu Baz memahami bahwa yang dimaksud dalam hadits bahwa anak
tersebut akan tetap berada di atas fithroh yaitu Islam. Setan bisa saja
menggoda anak tersebut, namun segera ia akan kembali ke jalan yang
lurus. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa
was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga
mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. Al A’rof: 201) (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 349).
Kelima: Keberkahan do’a ini berlaku bagi wanita yang
akan hamil dengan hubungan intim tersebut, atau yang tidak karena
lafazhnya umum. Inilah pendapat Al Qodhi ‘Iyadh (Fathul Bari, 9: 229).
Jadikanlah Kebiasaan!
Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Hendaklah
seorang muslim bersemangat mengamalkan do’a ini ketika berhubungan
intim hingga menjadi kebiasaan. Hendaklah ia melakukannya dalam rangka
mengamalkan nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan demi
menghasilkan keturunan yang terjaga dan terlindungi dari gangguan setan,
juga supaya mendapatkan keberkahan dari do’a ini” (Minhatul ‘Allam, 7:
348).
Ibnu Hajar berkata, “Faedah yang ditunjukkan dalam do’a ini adalah
disunnahkannya membaca bismillah dan berdo’a serta merutinkannya hingga
pada hal yang nikmat semacam dalam hubungan intim”. (Fathul Bari, 9:
229).
Hadits yang kita ulas kali ini menunjukkan bahwa setan akan
mengganggu manusia dalam segala kondisi. Ketika tidur, ketika bangun
dari tidur, setan akan terus memberikan was-was. Jika seseorang lalai
dari mengingat Allah, maka setan akan mengganggu. Namun jika mengingat
Allah, setan akan lari bersembunyi. Oleh karena itu, hendaklah kita
membiasakan untuk terus berdzikir, membaca ta’awudz, berdo’a, supaya
kita terlindungi dari gangguan setan (Nasehat Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan
dalam Minhatul ‘Allam, 7: 349).
Ya Allah, lindungilah kami dari gangguan setan dalam segala keadaan kami.
Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
1. Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
2. Fiqhul Islam Syarh Bulughul Marom min Jam’i Adillatil Ahkam, ‘Abdul
Qodir Syaibah Al Hamd, terbitan Muassasah ‘Ulumul Qur’an, cetakan
ketujuh, 1432 H.
3. Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, ‘Abdullah bin Sholeh Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1430 H.
4. Subulus Salam Al Mawshulah ila Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il
Al Amir Ash Shon’ani, Tahqiq: Muhammad Shobhi Hasan Hallaq, terbitan Dar
Ibnul Jauzi, cetakan kedua, 1432 H.
5. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 29 Rabi’uts Tsani 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar