Segala
puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakan
hidup dan mati untuk menguji manusia siapa yang terbaik amalannya.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga kepada keluarganya, shahabatnya,
dan orang-orang yang mengikuti mereka denga baik.
Bulan
ramadhan tinggal beberapa hari lagi dan dengan hampir dekatnya bulan
ramadhan maka Pemerintah dan beberapa Ormas berlomba lomba menentukan
awal Ramadhan.
Di Indonesia tidak
hanya pemerintah saja yang menentukan awal ramadhan tetapi banyak juga
Ormas Ormas Yang menntukan awal ramadhan.
Sekarang timbul pertanyaan: Mana yang kita ikuti pemerintah atau Ormas Ormas?
Sebelum
menjawab pertanyaan ini maka kita akan membahas tentang cara menentukan
Awal Ramadhan. ada 2 cara dalam menentukan awal ramadhan.
[1] Melihat Hilal Ramadhan
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
Yang artinya:
”Karena
itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Apabila
bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen).
Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila
mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[1]
Menurut
mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat
hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma,
Yang artinya:
“Orang-orang
berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya.
Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”[2]
Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
Yang artinya:
“Berpuasalah
kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan
sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup
dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada
dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[3]
Dalam
hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan
dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena
hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[4]
[2] Menyempurnakan Bulan Sya’ban Menjadi 30 Hari
Apabila
pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena
terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan
menjadi 30 hari.
Salah seorang
ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala
memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal
bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara.
Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan.
Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari
dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada
hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari
ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.” [5]
Setelah
kita ketahui cara menentukan awal ramadhan maka kita akan menjawab
pertanyaan diatas. Kepada siapa kita akan ikuti pemerintah atau Ormas
Ormas?
Rasulullah shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
Yang artinya:
“Puasa itu adalah di
hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian
berbuka, dan berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.” [HR. at-Tirmidzi no. 697, dishohihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shohihah no. 224]
FIQIH HADITS :
At-Tirmidzi berkata: “dan
sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata: makna hadits
ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas
orang (Ummat Islam).”
Ash-Shon’ani berkata
dalam Subulus Salam (2/27) : “Pada hadits ini ada dalil bahwa yang
teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan
bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya
dengan melihat hilal tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini
harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’iedul Fithri atau pun
berkurban”.
Ibnul Qayyim menyebutkan
makna hadits ini dalam Tahdzibus Sunan (3/214): “Dikatakan bahwa pada
hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata: “Sesungguhnya
barangsiapa yang melihat munculnya bulan dengan mengukur tempat-tempat
terbitnya (cara hisab), boleh baginya berpuasa dan beriedul Fithri
sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya”. Dikatakan bahwa
seorang yang melihat munculnya hilal sendirian, tetapi hakim tidak
menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana
manusia pun belum berpuasa”.
Al-Imam Abul Hasan
As-Sindi berkata dalam kitabnya Hasyiyah ‘ala Sunan Ibni Majah setelah
menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan at-Tirmidzi : “Yang
jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini
(menentukan awal Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha, pent)
keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka
untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini
dikembalikan kepada penguasa/ pemerintah dan mayoritas umat Islam. Dalam
hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan
mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun
penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap
persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat
Islam dalam permasalahan itu.”
Syaikh Al-Albani Berkata:
Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara
misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka
serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu
perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut
yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti;
shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa
sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang
shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa
menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh
termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat
demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna dalam safar
dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya. Namun perbedaan itu
tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang
seorang imam dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu
karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama
lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka
mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada saat
berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk
menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap
mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu
Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu
shalat di Mina 4 rakaat. Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu
‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan
‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian
terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat
itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina,
shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah
kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4
rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud
berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula
oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu
Dzar radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Dari Penjelasan diatas
sudah jelas bahwa Yang harus diikuti dalam menentukan awal Ramadhan
adalah Mengikuti Pemerintah untuk menyatukan kaum muslimin.
Wallahu a’lam.
Disalin dari: http://www.alhiraindonesia.com/article/detail/penetapan-awal-ramadhan-ikuti-siapa-133.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar