(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Perbuatan maksiat yang dilakukan oleh seseorang yang sebenarnya tidak
terdesak untuk melakukan perbuatan tersebut dosanya lebih besar
daripada orang yang berbuat maksiat karena memang ia terdesak untuk
berbuat demikian. Seperti umat Nabi Syu’aib u yang telah dikaruniai
harta yang berlimpah namun mereka masih berbuat dosa dengan melakukan
kecurangan dalam timbangan. Allah I pun mengadzab mereka dengan adzab
yang pedih.
Allah mengangkat Syu’aib u menjadi Nabi dan mengutus beliau ke negeri
Madyan. Kejahatan yang dilakukan penduduk Madyan tidak hanya melakukan
kesyirikan tetapi juga berbuat curang dalam timbangan dan takaran. Juga
melakukan kecurangan dalam bermuamalat dan mengurangi hak orang lain.
Nabi Syu’aib u mengajak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah saja
dan melarang mereka berbuat syirik. Beliau juga memerintahkan agar
berbuat adil dan jujur dalam bermuamalat, serta mengingatkan mereka agar
jangan merugikan orang lain.
Nabi Syu’aib u mengingatkan kaumnya tentang kebaikan yang telah Allah
limpahkan kepada mereka berupa rizki yang beraneka ragam. Sesungguhnya
dengan itu semua, mereka tidak perlu sampai menzalimi manusia dalam
urusan harta. Nabi Syu’aib u juga mengancam dengan adzab yang mengepung
mereka di dunia sebelum di akhirat nanti. Namun mereka menyambutnya
dengan ejekan dan menolak seruan itu sambil mengejek. Mereka berkata:
“Hai Syu’aib, apakah shalatmu (agamamu) menyuruhmu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami
memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu
adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (Hud: 87)
Yakni, kami tetap akan bertahan menyembah apa yang disembah oleh
bapak-bapak kami. Dan kami akan tetap berbuat terhadap harta kami dengan
berbagai bentuk muamalat yang kami inginkan, tidak berada di bawah
aturan atau ketetapan Allah dan para rasul-Nya.
Nabi Syu’aib u berkata (sebagaimana firman Allah):
“Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata
dari Rabbku dan dianugerahkan kepadaku daripada-Nya rizki yang baik
(patutkah aku menyalahi perintahnya?” (Hud: 88)
Maksudnya, bahwa Allah I telah mencukupi aku (dengan rizki-Nya).
Firman Allah I:
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (Hud: 88)
Yakni, tidaklah aku melarang kalian dari berbagai muamalat yang buruk
dan di dalamnya terdapat perbuatan yang menzalimi manusia, melainkan aku
adalah orang pertama yang meninggalkannya, padahal Allah telah memberi
aku harta dan memperluas rizki untukku. Dan saya sangat membutuhkan
adanya hubungan muamalat ini. Namun saya terikat dengan kewajiban taat
kepada Rabbku. Saya tidak bermaksud dengan tindakan dan perintahku ini
kepada kalian kecuali mendatangkan perbaikan. Artinya, semampu saya,
saya akan berusaha agar keadaan dunia dan akhirat kalian menjadi baik.
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.
Hanya kepada Allah aku berserah diri dan hanya kepada-Nya-lah aku
kembali.” (Hud: 88)
Kemudian beliau mengancam mereka dengan siksaan yang pernah menimpa umat-umat yang masa dan tempatnya di sekitar mereka.
Firman Allah I:
“Janganlah sekali-kali pertentangan antara aku (dengan kamu)
menyebabkan kamu berbuat aniaya sehingga kamu ditimpa adzab seperti yang
menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shalih, sedangkan kaum Luth
tidak (pula) jauh dari kalian.” (Hud: 89)
Beliau menawarkan kepada mereka agar bertaubat dan membangkitkan
keinginan mereka untuk bertaubat. Nabi Syu’aib u berkata, sebagaimana
firman Allah:
“Dan mohonlah ampunan kepada Rabb kalian kemudian bertaubatlah
kepada-Nya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.”
(Hud: 90)
Namun semua seruan itu tidak berfaidah sedikitpun. Mereka berkata:
“Kami tidak banyak mengerti apa yang kamu katakan.” (Hud: 91)
Perkataan ini jelas karena sikap keras kepala mereka dan kebencian yang sangat besar terhadap kebenaran.
“Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seseorang yang lemah
di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami sudah
merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi
kami.” (Hud: 91)
Dan firman Allah I:
“Syu’aib menjawab: ‘Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat
menurut pandangan kalian daripada Allah, sedangkan Allah kamu jadikan
sesuatu yang terbuang di belakangmu? Sesungguhnya Rabbku meliputi apa
yang kamu kerjakan.’” (Hud: 92)
Dan ketika melihat kekerasan mereka, beliau berkata:
“Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu,
sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa
yang akan ditimpa adzab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan
tunggulah (adzab Allah), sesungguhnya akupun menunggu bersama kalian.’
Dan ketika datang adzab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang
yang beriman bersamanya dengan rahmat dari Kami. Sedangkan orang-orang
yang dzalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah
mereka mati bergelimpangan di rumah-rumah mereka.” (Hud: 93-94)
Kemudian Allah mengirimkan rasa panas yang hebat kepada mereka yang
menyumbat pernafasan mereka sehingga mereka hampir tercekik karena
dahsyatnya. Di saat demikian, Allah mengirimkan awan dingin yang
menaungi mereka, lalu merekapun panggil memanggil untuk bernaung di
bawahnya. Setelah mereka berkumpul di bawahnya, tiba-tiba muncullah
nyala api demikian hebat membakar mereka hingga merekapun mati dalam
keadaan mendapat adzab, kehinaan dan kutukan sepanjang masa.
Beberapa Pelajaran
1. Merugikan timbangan dan takaran secara khusus ataupun merugikan
manusia secara umum merupakan kejahatan yang pantas menerima adzab di
dunia dan akhirat.
2. Kemaksiatan yang terjadi pada seseorang yang sebetulnya tidak ada
faktor pendorong dalam dirinya dan tidak pula berhajat kepada
kemaksiatan itu, dosanya lebih besar dibandingkan orang yang bermaksiat
didorong oleh suatu keinginan atau kebutuhan. Oleh karena itu, zina yang
dilakukan oleh seorang tua atau orang yang sudah pernah menikah, jauh
lebih buruk keadaannya dibandingkan zina yang dilakukan oleh seorang
pemuda atau orang yang belum pernah menikah.
3. Begitu pula kesombongan pada diri seorang fakir (miskin), jauh
lebih buruk keadaannya dibandingkan kesombongan yang dimiliki oleh
seseorang yang mempunyai harta. Demikian pula pencurian yang dilakukan
oleh orang yang sebetulnya tidak membutuhkan harta curian itu, dosanya
jauh lebih besar daripada pencurian yang dilakukan oleh orang yang
memang sangat membutuhkan harta yang dicurinya. Oleh karena inilah Nabi
Syu’aib u mengatakan sebagaimana disebutkan dalam ayat:
“Sesungguhnya aku melihat kalian dalam keadaan yang baik (mampu).” (Hud: 84)
Yakni, kalian dalam keadaan penuh kenikmatan dan kesenangan yang
berlimpah, maka apa sesungguhnya yang mendorong kalian sehingga kalian
begitu tamak kepada apa yang ada di tangan manusia dengan cara yang
diharamkan?
4. Pelajaran yang lain, firman Allah I:
“Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu.” (Hud: 86)
Di dalamnya terdapat dorongan untuk rela dengan apa yang diberikan Allah, merasa cukup
dengan yang halal dan (menjauhi) yang haram, membatasi pandangan kepada
milik sendiri dan tidak perlu melihat kepada harta benda manusia.
5. Dalam kisah ini, terdapat dalil bahwa shalat merupakan sebab
terlaksananya suatu kebaikan dan meninggalkannya merupakan suatu
kemungkaran serta ditunaikannya nasehat untuk sesama hamba Allah I.
Orang-orang kafir mengetahui hal itu sebagaimana mereka katakan kepada
Nabi Syu’aib u, firman Allah I menceritakan tentang ucapan mereka:
“Apakah shalatmu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang
disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang
kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang
sangat penyantun lagi berakal.” (Hud: 87)
Dan firman Allah I:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45)
Dari sini, diketahui hikmah dan rahmat Allah I mengapa Dia wajibkan
shalat ini kepada kita lima kali sehari semalam, (yaitu) karena begitu
tinggi nilainya dan betapa besar manfaatnya dan sangat indah
pengaruhnya. Segala pujian yang sempurna hanya bagi Allah atas semua
kenikmatan itu.
6. Seorang manusia dalam setiap gerak-geriknya dan dalam bermuamalat
masalah harta berada di bawah ketentuan hukum syariat. Maka apa saja
yang dibolehkan, itulah yang harus dikerjakan dan apa yang dilarang oleh
syariat sudah tentu harus ditinggalkannya.
Barangsiapa yang menganggap dia bebas berbuat dengan hartanya dalam
bermuamalat dengan cara yang baik ataupun buruk, maka sama saja
keadaannya dengan orang yang menganggap amalan atau gerak-gerik badannya
juga bebas tidak terikat aturan syariat. Dengan demikian, tidak ada
bedanya menurut dia antara kekafiran dan keimanan, kejujuran dan kebohongan, perbuatan yang baik dan yang buruk, semua boleh.
Tentunya jelas bagi kita bahwa ini adalah madzhab (pendapat dan
keyakinan) orang-orang ibahiyyin (yang menganggap mubah atau halalnya
segala sesuatu), dan mereka ini merupakan sejahat-jahatnya makhluk. Dan
madzhab kaum Nabi Syu’aib tidak jauh berbeda dengan madzhab ini. Karena
mereka mengingkari Nabi Syu’aib u yang melarang mereka dari muamalat
yang bersifat dzalim, dan mengizinkan muamalat yang selain itu. Mereka
menentangnya karena menganggap mereka bebas berbuat apa saja terhadap
harta mereka. Sama seperti ini adalah perkataan orang-orang yang
disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Maka barangsiapa yang menyamakan antara yang dihalalkan dan diharamkan
oleh Allah berarti dia telah menyimpang dari fitrah dan akalnya, setelah
dia melakukan penyimpangan pula dari agamanya.
7. Orang yang memberi nasehat kepada orang lain, memerintahkan
(kebaikan) dan melarang mereka (dari kejelekan), agar sempurna
penerimaan manusia terhadap nasehatnya itu, maka apabila dia
memerintahkan suatu kebaikan hendaklah dia menjadi orang yang mula-mula
mengerjakan kebaikan tersebut. Dan apabila dia melarang mereka dari
suatu kemungkaran, maka hendaklah dia menjadi orang yang pertama sekali
meninggalkan dan menjauhinya. Demikianlah yang dikatakan Nabi Syu’aib u
sebagaimana firman Allah I:
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (Hud: 88)
8. Para nabi diutus dengan membawa kebaikan dan untuk memperbaiki, serta
mencegah timbulnya kejahatan dan kerusakan. Maka seluruh kebaikan dan
perbaikan dalam urusan agama dan dunia merupakan ajaran para nabi,
terutama imam dan penutup para nabi tersebut yaitu Nabi Muhammad r.
Beliau telah menampakkan dan mengulang kembali landasan utama ini dan
telah pula meletakkan dasar-dasar yang besar manfaatnya, di mana mereka
berjalan di atasnya dalam berbagai urusan duniawi, sebagaimana juga
beliau telah meletakkan dasar-dasar utama dalam urusan agama.
9. Pada dasarnya wajib bagi tiap orang untuk berupaya dengan
sungguh-sungguh dalam kebaikan dan perbaikan, maka wajib pula baginya
untuk meminta pertolongan Rabbnya dalam usaha tersebut. Dan agar dia
mengetahui bahwa dia tidak mampu melakukan atau menyempurnakannya
kecuali dengan pertolongan Allah, seperti yang dikatakan Nabi Syu’aib u,
sebagaimana dalam firman Allah I:
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.
Hanya kepada Allah aku berserah diri dan hanya kepada-Nya-lah aku
kembali.” (Hud: 88)
10. Seorang da’i yang mengajak umat kembali kepada Allah
sangat membutuhkan sifat santun, akhlak yang baik dan kesanggupan
mengimbangi perkataan dan perbuatan yang buruk yang ditujukan kepadanya
dengan perbuatan yang sebaliknya. Dan sepantasnya dia tidak mempedulikan
gangguan orang lain dan jangan sampai menghalangi mereka sedikitpun
dari seruannya. Akhlak seperti ini yang paling sempurna hanya ada pada
diri para rasul shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim.
Maka, perhatikanlah keadaan Nabi Syu’aib u dan kemuliaan akhlaknya
bersama kaumnya. Bagaimana beliau mengajak kaumnya dengan segala macam
cara, sementara mereka justru memperdengarkan kepada mereka kata-kata
yang buruk dan membalas seruan itu dengan perbuatan-perbuatan yang keji.
Beliau u tetap menunjukkan sikap santun, memaafkan mereka dan berbicara
kepada mereka dengan kalimat-kalimat yang tidak keluar dari orang
seperti beliau selain kebaikan.
Akhlak seperti ini adalah akhlak orang-orang yang berhasil dan memiliki
keberuntungan yang besar. Dan tentunya pemiliknya mempunyai kedudukan
mulia dan kenikmatan yang kekal di sisi Allah. Sehingga dengan ini
semua, menjadi ringanlah baginya untuk mengobati umat yang telah
demikian rusak akhlak mereka, (yang bagi orang lain) adalah suatu
perkara yang sangat sulit dan bahkan lebih sulit daripada upaya
membongkar sebuah gunung dari dasarnya.
Sementara itu kaumnya terus-menerus tenggelam dalam keyakinan dan
pemikiran yang rusak dan bahkan mereka kerahkan semua harta, jiwa dan
raga mereka untuk mengutamakan dan melebihkannya di atas segala-galanya.
Apakah anda mengira, bahwa orang-orang seperti mereka ini akan merasa
cukup puas hanya dengan ucapan semata bahwa keyakinan dan pemikiran yang
mereka anut adalah salah dan rusak? Ataukah anda mengira bahwa mereka
akan memaafkan orang yang mencaci-maki mereka dan menghina keyakinan
mereka? Sekali-kali tidak, demi Allah.
Sesungguhnya mereka ini betul-betul membutuhkan bermacam-macam cara
untuk memperbaiki keyakinan mereka, dan itu hanya dengan cara yang
diserukan oleh para rasul. Di mana para rasul itu mengingatkan manusia
dengan nikmat-nikmat Allah dan bahwa Dzat yang sendirian memberikan
kenikmatan kepada mereka itulah yang sesungguhnya berhak menerima
peribadatan, apapun bentuknya. Juga para rasul itu menyebutkan kepada
mereka berbagai kenikmatan yang terperinci dan tidak mungkin dapat
dihitung oleh siapapun kecuali Allah.
Para rasul itu mengingatkan pula bahwa dalam keyakinan dan pendirian
mereka terdapat kerusakan dan penyimpangan, kegoncangan serta
pertentangan yang dapat merusak keyakinan atau keimanan yang mendorong
untuk ditinggalkan. Para rasul juga mengingatkan manusia tentang
hari-hari Allah yang ada di hadapan dan di belakang mereka serta
siksaan-Nya yang telah menimpa umat-umat yang mendustakan para rasul,
mengingkari tauhid. Mereka mengingatkan bahwa hanya dengan beriman
kepada Allah dan mentauhidkan-Nya akan mendapatkan kebaikan dan
kemaslahatan serta kemanfaatan dalam agama dan dunia, yang tentunya akan
menarik hati siapapun dan memudahkan untuk mencapai semua tujuan.
Dengan ini semua maka seseorang membutuhkan sikap yang baik terhadap
mereka. Minimal, adalah bersabar atas gangguan dan semua keburukan yang
muncul dari mereka dan selalu berkata lemah-lembut dengan mereka. Dan
perlunya pula mengupayakan semua jalan yang mengandung hikmah dan
berdialog bersama mereka dalam berbagai urusan dengan mencukupkan
sebagian yang diizinkan (diterima) jiwa mereka untuk menyempurnakannya.
11. Perlu diperhatikan pula perlunya mendahulukan hal-hal yang paling
utama kemudian yang berikutnya. Dan yang paling besar usahanya
melaksanakan semua ini adalah penutup para nabi dan imam seluruh makhluk
ini, yaitu Nabi Muhammad r.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar