Sungguh
suatu hal sangat memprihatinkan, bahwa sejarah lahirnya Islam di Jazirah Arabia
yang terjadi pada abad ke-7 Masehi dan lahirnya Muhammad Shallallahu’alaihi wa
Sallam [581 M], wafat [632 M] dan penggantinya Abu Bakar [632-634 M], Umar Bin
Khotob [634-644 M], Usman Bin Affan [644-656 M], Ali Bin Abi Thalib [656-661 M]
serta perkembangan Islam selanjutnya dapat terdokumentasi secara jelas. Namun
sejarah masuknya Islam di Indonesia yang terjadi 7 abad setelahnya, justru
tidak terdokumentasi secara pasti. Barangkali karena alasan itulah maka sejarah
tentang walisongo juga penuh dengan carut-marut.
Kisah-kisah
individu walisongo penuh dengan nuansa
mistik, bahkan tidak hanya nuansa
mistik yang menyelimuti kisah walisongo tetapi juga penuh dengan
berita-berita bohong. Mistik dan bohong adalah dua hal yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi mengapa keduanya justru menjadi warna
utama kisah para wali yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ajaran islam
di Indonesia?
Sebagai
umat Islam tentu saja kita harus mengembangkan metode berpikir dialektis untuk
mengambil hikmah yang sesungguhnya dan meluruskan sejarah yang sebenarnya
berdasarkan sumber yang benar.
Berikut
adalah dokumen-dokumen yang dipastikan kebenarannya sehubungan dengan
kisah-kisah Walisongo;
1. “Het book van Bonang”, buku ini ada di perpustakaan Heiden-Belanda, yang menjadi salah
satu dokumen langka dari jaman Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin
dokumen yang amat penting itu sudah lenyap. Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang
pada abad 15 yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam.
2. “Suluk Linglung”,
buku karya Sunan Kalijogo. Buku ini berbeda dengan buku ‘Suluk Linglung’ karya
Imam Anom yang banyak beredar.
3.
“Kropak
Farara”,
buku yang amat penting tentang walisongo ini diterjemahkan oleh Prof.Dr. GJW
Drewes ke dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Wahyudi ke dalam bahasa
Indonesia.
4. “Kitab Walisana”,
kitab yang disusun oleh Sunan Giri ini berisi tentang ajaran Islam dan beberapa
peristiwa penting dalam perkembangan masuknya agama Islam di tanah Jawa.
Istilah
walisongo memang masih kontroversial dan
tidak ada dokumen yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan mana yang benar.
Istilah walisongo adalah nama sebuah dewan yang beranggotakan 9 orang [A.
Wahyudi dan Abu Khalid; Widji Saksono,1995].
Anggota
walisongo merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa
dinamakan wali. Istilah wali berasal dari bahasa arab aulia, yang artinya orang
yang dekat dengan Allah SWT karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo
merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala penuru. Orang jawa mengenal
istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu
utara-timur-selatan-barat disebut keblat papat dan empat arah diantaranya
ditambah pusat disebut limo pancer.
Dalam
kitab Kanzul Ulum karya IBNUL
BATHUTHAH yang masih tersimpan di perpustakaan istana
kasultanan Ottoman di Istambul, pembentukan Walisongo ternyata pertama kali
dilakukan oleh sultan Turki, MUHAMMAD I yang menerima laporan dari para
saudagar Gujarat {India} bahwa di pulau Jawa jumlah pemelukm agama Islam masih
sangat sedikit. Berdasarkan laporan tersebut Sulatn MUHAMMAD I membentuk sebuah
tim yang beranggotakan 9 orang, yaitu :
1. MAULANA MALIK IBRAHIM, berasal dari Turki, ahli irigasi dan tata pemerintahan
2. MAULANA ISHAQ , berasal dari Samarkan ahli pengobatan
3. MAULANA AHMAD JUMADIL KUBRO , berasal dari Mesir
4. MAULAN MUHAMMAD AL MAGHROBI , berasal dari Maroko
5. MAULANA MALIK ISRO’IL , berasal dari Turki, ahli tata pemerintahan
6. MAULANA MUHAMMAD ALI AKBAR , berasal dari Iran, ahli pengobatan
7. MAULANA HASANUDDIN , dari Palestina
8. Maulana ALIYUDDIN , dari Palestina
9. Syekh SUBAKIR , dari Iran, ahli kemasyarakatan
2. MAULANA ISHAQ , berasal dari Samarkan ahli pengobatan
3. MAULANA AHMAD JUMADIL KUBRO , berasal dari Mesir
4. MAULAN MUHAMMAD AL MAGHROBI , berasal dari Maroko
5. MAULANA MALIK ISRO’IL , berasal dari Turki, ahli tata pemerintahan
6. MAULANA MUHAMMAD ALI AKBAR , berasal dari Iran, ahli pengobatan
7. MAULANA HASANUDDIN , dari Palestina
8. Maulana ALIYUDDIN , dari Palestina
9. Syekh SUBAKIR , dari Iran, ahli kemasyarakatan
Inilah
walisongo angkatan pertama
yang datang ke pulau Jawa pada saat yang tepat, karena Majapahit sendiri pada
saat itu sedang dilanda perang saudara, yaitu perang paregreg, sehingga
kedatangan mereka tidak begitu mendapat perhatian. Perlu diketahui bahwa tim
pertama tersebut bukanlah para ahli agama atau bisa dikatakan bahwa mereka
belum mempunyai ilmu agama yang mumpuni. Sultan Muhammad I tidak pernah
menyebut tim tersebut dengan nama walisongo. Barangkali istilah walisongo
berasal dari masyarakat atau dari tim itu sendiri setelah bekerja beberapa pulh
tahun. Adapula kemungkinan bahwa istilah walisongo muncul setelah wali pribumi
dari kalangan bangsawan yang masuk kedalam tim.
Karena
Maulana Malik Ibrahim sebagai ketua walisongo wafat pada tahun 1419 M, maka
pada tahun 1421 M dikirim seorang penyebar Islam baru yang bernama AHMAD ALI RAHMATULLAH dari
Champa yang juga keponakan MAULANA
ISHAK. Beliau adalah anak IBRAHIM
ASMARAKANDI yang menjadi menantu Sultan Campha. Pemilihan Ahmad
Ali Rahmatullah yang nantinya sering dipanggil RADEN
RAHMAT adalah keputusan yang sangat tepat, karena Raden Rahmat
dianggap mempunyai kelebihan [ilmu agama yang lebih dalam] dan putra Mahkota
kerajaan Majapahit pada saat itu menikah dengan bibi Raden Rahmat. Oleh karena
itu dengan Raden Rahmat menjadi ketua, walisongo berharap agar Prabu
KertaWijaya dapat masuk Islam, atau setidak-tidaknya tidak menghalangi
penyebarah Islam. Dialog antara Raden Rahmat yang mengajak Prabu KertaWijaya
masuk Islam tertulis dalam Kitab Walisana dengan langgam Sinom pupuh IV bait
9-11 dan bait 12-14.
Karena
masih kerabat istana, maka Raden Rahmat diberi daerah Ampeldento oleh Raja
Majapahit yang kemudian dijadikan markas untuk mendirikan pesantren.
Selanjutnya Raden Rahmat dikenal dengan nama SUNAN AMPEL. Menurut Widji Saksono
[1995:23-24], kedatangan Raden Rahmat di pulau jawa disertai dua pemuda
bangsawan Champha yaitu Raden SANTRI ALI
dan ALIM ABU HURAIRAH
serta 40 orang pengawal. Selanjutnya Raden Santri Ali dan Alim Abu Hurairah
bermukim di Gresik dan dikenal dengan SUNAN GRESIK
dan SUNAN MAJAGUNG.
Dengan kedatangan Raden Rahmat, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali
dapat kita sebut angkatan kedua.
Pada
tahun 1435 ada dua orang wali yang wafat, yaitu Maulana Malik Isro`il dan
Maulana Muhammad Ali Akbar. Dengan meninggalnya dua orang itu, dewan mengajukan
permohonan kepada Sultan Turki [tahun 1421 Sultan Muhammad I digantikan oleh
sultan MURAD II, yang
memimpin sampai tahun 1451 {Barraclough, 1982:48}] untuk dikirimkan dua orang
pengganti yang mempunyai kemampuan agama yang lebih mendalam.
Permohonan
tersebut dikabulkan dan pada tahun 1436 dikirim dua orang juru dakwah, yaitu :
1. SAYYID JA`FAR SHODIQ, berasal dari Palestina, yang selanjutnya bermukin di Kudus dan
dikenal dengan nama SUNAN KUDUS. Dalam buku Babad Demak karya Atmodarminto
{2001, disebutkan bahwa Sayyid Ja`far Shodiq adalah satu-satunya anggota
walisongo yang paling menguasai Ilmu Fiqih.
2. SYARIF HIDAYATULLAH, berasal dari Palestina yang merupakan ahli strategi perang.
Menurut buku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon karya PS Sulendraningrat {tanpa
tahun}, Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi dari Pajajaran hasil
perkawinan Rara Santang dan Sultan Syarif Abdullah dari Mesir. Selanjutnya
Syarif Hidayatullah bermukim di Cirebon dan dikenal dengan nama SUNAN GUNUNG JATI.
Dengan
kedatangan wali muda tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali
dapat kita sebut angkatan ketiga. Nampak dari informasi diatas bahwa ada tiga
wali muda yang tentu mempunyai kedalaman ilmu agama yang lebih dibandingkan
dengan angkatan sebelumnya.
Pada
tahun 1462 dua orang anggota walisongo wafat, yaitu Maulana Hasanuddin dan
Maulana Aliyuddin. Sebelum itu ada dua orang anggota wali yang meninggalkan
tanah Jawa, yaitu Syekh Subakir pulang ke Persia dan Maulana Ishak berdakwah di
Pasai.
Dalam
sidang walisongo di Ampeldento, diputuskan bahwa ada empat orang yang masuk
dalam dewan walisongo, yaitu:
1. Raden MAKHDUM IBRAHIM, putra Sunan Ampel yang bermukim di desa Mbonang, Tuban.
Selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN
MBONANG.
2. Raden QOSIM , putra Sunan Ampel yang bermukim di lamongan dan dikenal dengan nama SUNAN DRAJAT.
3. Raden PAKU , putra Maulana ISHAQ yang bermukim di Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN GIRI.
4. Raden Mas SAID , putra Adipati Tuban yang bermukim di Kadilangu, Demak. Selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN KALIJOGO.
2. Raden QOSIM , putra Sunan Ampel yang bermukim di lamongan dan dikenal dengan nama SUNAN DRAJAT.
3. Raden PAKU , putra Maulana ISHAQ yang bermukim di Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN GIRI.
4. Raden Mas SAID , putra Adipati Tuban yang bermukim di Kadilangu, Demak. Selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN KALIJOGO.
Dengan
perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita
sebut angkatan keempat. Dalam dewan walisongo angkatan keempat ini masih ada
dua orang yang bersal dari angkatan pertama, sehingga pada tahun 1463 mereka
sudah bertugas di tanah Jawa selama 59 tahun. Dua orang itu adalah Maulana
Ahmad Jumadil Qubro yang meninggal pada tahun 1465 dan Maulana Muhammad Al
Maghrobi [tidak diketahui tahun berapa wafatnya]. Dalam kitab walisana
disebutkan bahwa pada saat Raden FATAH
menghadapi SYEKH SITI JENAR,
Maulana Muhammad Al Maghrobi masih merupakan tokoh sentral, kuat dugaan bahwa
beliau yang mengambil keputusan tentang masalah Syekh Siti Jenar.
Perlu
diperhatikan bahwa mulai angkatan keempat ini banyak anggota walisongo yang
merupakan putra bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu, orientasi ajaran islam
mulai berubah dari Arab Sentris menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah
tubuh walisongo mulai terbelah antara kelompok futi`a dan aba`ah, barangkali
pada saat itu pula muncul istilah Walisongo. Isi kitab walisana yang ditulis
oleh Sunan Giri II pun yang ditulis pada awal abad 16 banyak berbeda dengan
buku-buku sunan Mbonang yang masih
menjelaskan ajaran Islam yang murni.
Dengan
meninggalnya dua orang wali yang paling tua itu, maka pada tahun 1466 diadakan
sidang yang memutuskan memasukkan anggota baru dan mengganti ketua dewan yang
sudah berusia lanjut. Ketua dewan yang dipih dalam siding tersebut adalah Sunan GIRI, sedangkan anggota
dewan yang masuk adalah :
1. Raden FATAH,
putra Raja Majapahit Brawijaya V yang merupakan Adipati Demak.
2. FATHULLAH KHAN , putra Sunan Gunung Jati yang dimaksudkan untuk membantu tugas ayahandanya yang sudah berusia lanjut.
2. FATHULLAH KHAN , putra Sunan Gunung Jati yang dimaksudkan untuk membantu tugas ayahandanya yang sudah berusia lanjut.
Dengan
perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut
angkatan kelima.
Setelah
Raden Fatah dinobatkan menjadi Sultan Demak Bintara, maka pada tahun 1478,
dilakukan perombakan lagi dalam tubu dewan walisongo. Selain Raden Fatah, Sunan
Gunung Jati pun lengser karena usianya lang lanjut. Posisi Sunan Gunung Jati
digantikan oleh Fathullah Khan yang memang sudah ada dalam dewan walisongo. Dua
posisi yang kosong diisi oleh :
1. Raden UMAR SAID,
putra Sunan Kalijogo yang lebih dikenal sebagai SUNAN
MURIA.
2. Sunan PANDANARAN , murid Sunan Kalijogo yang bermukim di Tembayat, juga dikenal sebagai SUNAN TEMBAYAT.
Menurut kitab walisana karya Sunan Giri II, status Sunan Muria dan Sunan Padanaran hanya sebagai wali penerus atau wali nubuah atau wali nukbah. Kitab walisana juga tidak tidak pernah menyebut nama Fathullah Khan sebagai anggota walisongo, barangkali hal itu terjadi karena begitu diangkat menjadi anggota walisongo, Fathullah Khan langsung disebut sebagai Sunan Gunung Jati seperti sebutan untuk ayahandanya.
2. Sunan PANDANARAN , murid Sunan Kalijogo yang bermukim di Tembayat, juga dikenal sebagai SUNAN TEMBAYAT.
Menurut kitab walisana karya Sunan Giri II, status Sunan Muria dan Sunan Padanaran hanya sebagai wali penerus atau wali nubuah atau wali nukbah. Kitab walisana juga tidak tidak pernah menyebut nama Fathullah Khan sebagai anggota walisongo, barangkali hal itu terjadi karena begitu diangkat menjadi anggota walisongo, Fathullah Khan langsung disebut sebagai Sunan Gunung Jati seperti sebutan untuk ayahandanya.
Setelah
masa walisongo angkatan keenam, masih banyak orang yang pernah mendapat gelar
sebagai wali, namun kapan mereka itu diangkat dan menggantikan siapa, tidak ada
bukti dan keterangan yang dapat dijadikan patokan dan kebenarannyapun masih
banyak diragukan. Mereka itu misalnya SYEKH SITI
JENAR, Sunan
GESENG, sunan
NGUDUNG, Sunan PADUSAN,
Sunan KALINYAMAT, Sunan MURYAPODO, dan ada
beberapa orang yang juga dianggap sebagai wali misalnya Ki Ageng Selo dan Ki
Ageng Pengging.
E.A.
Indrayana
Pemerhati Sejarah Kerajaan Jawa
Tinggal di Bekasi
Pemerhati Sejarah Kerajaan Jawa
Tinggal di Bekasi
Pustaka
:
o
Hasanu Simon, 2004, Peranan Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa Dalam
Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
o Sulendraningrat, 1984, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon.
o Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA, tanpa tahun, Kisah Walisongo, Karya Ilmi, Surabaya.
o Widji Saksono,1995, Mengislamkan Tanah Jawa:Telaah atas Metode Dakwah Walisongo,Penerbit Mizan, Bandung.
o Atmodarminto, R., 2000, Babad Demak;Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, terjemahan Saudi Berlian, Millenium Publisher, Jakarta. (© Banyu Mili 2009) Selesai.
o Sulendraningrat, 1984, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon.
o Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA, tanpa tahun, Kisah Walisongo, Karya Ilmi, Surabaya.
o Widji Saksono,1995, Mengislamkan Tanah Jawa:Telaah atas Metode Dakwah Walisongo,Penerbit Mizan, Bandung.
o Atmodarminto, R., 2000, Babad Demak;Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, terjemahan Saudi Berlian, Millenium Publisher, Jakarta. (© Banyu Mili 2009) Selesai.
Sedikit
ulasan tentang “Kropak Ferrara”
yang menjadi rujukan Ustadz Zainal pada tabligh akbar ini. Kropak Ferrara
adalah dokumen yang disimpan di museum ‘Marquis
Cristino Bevilacqua’ di kota Ferrara
Italia, terdiri dari 23 lembar daun lontar ditulis dalam huruf
Jawa Kuno, berisi catatan
sarasehan ‘walisongo’. Daun lontar tersebut ditemukan oleh
misionaris Katholik Roma pada tahun 1598 di kota Pasuruan. Diterjemahkan
kedalam bahasa Belanda oleh Prof.Dr. GJW
Drewes tahun 1978 dan diterjemahkan oleh Asnan Wahyudi ke dalam bahasa
Indonesia tahun 2002.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar