Penjelasan tentang Ketaatan kepada penguasa merupakan salah satu dari ushul aqidah ahlussunnah wal jamaah ...
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian.” (QS. An-Nisa`: 59)
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian.” (QS. An-Nisa`: 59)
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik pada sesuatu yang dia suka atau benci. Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” (QS. Al-Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)
“Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik pada sesuatu yang dia suka atau benci. Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” (QS. Al-Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا
فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ
اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Dan barangsiapa yang berbaiat kepada seorang pemimpin (penguasa) lalu bersalaman dengannya (sebagai tanda baiat) dan menyerahkan ketundukannya, maka hendaklah dia mematuhi pemimpin itu semampunya. Jika ada yang lain datang untuk mengganggu pemimpinya (memberontak), penggallah leher yang datang tersebut.” (HR. Muslim no. 1844)
“Dan barangsiapa yang berbaiat kepada seorang pemimpin (penguasa) lalu bersalaman dengannya (sebagai tanda baiat) dan menyerahkan ketundukannya, maka hendaklah dia mematuhi pemimpin itu semampunya. Jika ada yang lain datang untuk mengganggu pemimpinya (memberontak), penggallah leher yang datang tersebut.” (HR. Muslim no. 1844)
Penjelasan ringkas:
Ketaatan kepada penguasa merupakan salah satu dari ushul aqidah ahlissunnah wal jamaah, yang jika diselisihi maka akan mengeluarkan pelakunya dari ahlussunnah. Hal ini ditunjukkan oleh amalan dan ucapan para ulama salaf yang mana mereka menyebutkan permasalahan ini dalam kitab-kitab aqidah ahlussunnah yang mereka tulis.
Ketaatan kepada penguasa merupakan salah satu dari ushul aqidah ahlissunnah wal jamaah, yang jika diselisihi maka akan mengeluarkan pelakunya dari ahlussunnah. Hal ini ditunjukkan oleh amalan dan ucapan para ulama salaf yang mana mereka menyebutkan permasalahan ini dalam kitab-kitab aqidah ahlussunnah yang mereka tulis.
Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam
risalah Ushul As-Sunnah, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para
pemimpin dan amirul mukminin, baik dia orang yang baik maupun orang
yang jahat.”
Imam Ibnu Abi Hatim berkata dalam
risalah Ashlu As-Sunnah atau dikenal juga dengan nama I’tiqad Ad-Din,
“Saya bertanya kepada ayahku (Abu Hatim) dan juga Abu Zur’ah mengenai
mazhab ahlussunnah dalam masalah pokok-pokok agama, dan mazhab yang
keduanya mendapati para ulama di berbagai negeri berada di atasnya, dan
mazhab yang mereka berdua sendiri yakini. Maka keduanya berkata, “Kami
menjumpai para ulama di berbagai negeri, di Hijaz, di Irak, di Mesir,
di Syam, dan di Yaman. Maka di antara mazhab mereka adalah …. Kami
mendengar dan taat kepada pimpinan yang Allah serahkan urusan kami
kepadanya, dan kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepadanya.”
Kami katakan: Maka ini jelas menunjukkan bahwa aqidah wajibnya taat kepada penguasa ini merupakan aqidah dari seluruh ulama ahlussunnah di berbagai negeri. Dan penyebutan negeri-negeri pada ucapan di atas tidak menunjukkan pembatasan, akan tetapi memang demikianlah akidah para ulama ahlussunnah di berbagai negeri pada setiap zaman.
Kami katakan: Maka ini jelas menunjukkan bahwa aqidah wajibnya taat kepada penguasa ini merupakan aqidah dari seluruh ulama ahlussunnah di berbagai negeri. Dan penyebutan negeri-negeri pada ucapan di atas tidak menunjukkan pembatasan, akan tetapi memang demikianlah akidah para ulama ahlussunnah di berbagai negeri pada setiap zaman.
Imam Ath-Thahawi berkata dalam kitab
Al-Aqidah Ath-Thahawiah, “Kami memandang bahwa menaati penguasa yang
merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Azz wa Jalla adalah suatu
kewajiban, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Kami
mendoakan mereka agar mendapatkan kesalehan dan kebaikan.”
Al-Barbahari rahimahullah berkata dalam
Syarh As-Sunnah, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin
dalam perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Barangsiapa yang
memegang tampuk khilafah dimana seluruh manusia sepakat menerimanya
dan meridhainya, maka dia dinamakan amirul mukminin. Tidak halal bagi
siapapun untuk tinggal satu malam dalam keadaan dia meyakini bahwa
dirinya tidak memiliki pemimpin, baik pemimpin itu adalah orang yang
saleh maupun orang yang jahat.”
Mufaffaquddin Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata dalam Lum’ah Al-I’tiqad, “Termasuk sunnah (tuntunan Islam)
adalah mendengar dan taat kepada para penguasa dan pimpinan (amir)
kaum muslimin, baik penguasa yang saleh maupun yang jahat. Selama dia
tidak memerintahkan kemaksiatan, karena tidak ada ketaatan kepada
seorangpun dalam bermaksiat kepada Allah.”
Imam Al-Lalaka`i dalam Syarh Ushul
I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah menyebutkan aqidah beberapa orang imam
ahlissunnah dalam permasalahan ini di antaranya:
1. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah.
Beliau berkata, “Wajib untuk bersabar di bawah kepemimpinan penguasa, baik dia berbuat baik maupun berbuat jahat.
1. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah.
Beliau berkata, “Wajib untuk bersabar di bawah kepemimpinan penguasa, baik dia berbuat baik maupun berbuat jahat.
2. Ali bin Abdillah Al-Madini rahimahullah
Beliau berkata, “Tidak halal bagi seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk tinggal semalampun kecuali dalam keadaan dia mempunyai pimpinan, baik pimpinan itu saleh maupun jahat
Beliau berkata, “Tidak halal bagi seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk tinggal semalampun kecuali dalam keadaan dia mempunyai pimpinan, baik pimpinan itu saleh maupun jahat
3. Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari rahimahullah
Beliau berkata, “Saya telah berjumpa dengan 1000 orang lebih ulama, di Hijaz, Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam, dan Mesir. Saya berjumpa dengan mereka berulang-ulang kali dari generasi ke generasi, dari generasi ke generasi.” Kemudian beliau menyebutkan sebagian kecil dari nama-nama para ulama tersebut, lalu kembali berkata. “Maka saya tidak pernah melihat seorangpun di antara mereka yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah berikut: … Dan kami tidak akan mengganggu penguasa pada urusannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ada 3 perkara yang hati seorang muslim tidak akan dengki terhadapnya: Mengikhlaskan amalan untuk Allah, menaati penguasa, dan komitmen dengan al-jamaah, karena doa kepada penguasa akan mengenai juga rakyatnya.”
Beliau berkata, “Saya telah berjumpa dengan 1000 orang lebih ulama, di Hijaz, Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam, dan Mesir. Saya berjumpa dengan mereka berulang-ulang kali dari generasi ke generasi, dari generasi ke generasi.” Kemudian beliau menyebutkan sebagian kecil dari nama-nama para ulama tersebut, lalu kembali berkata. “Maka saya tidak pernah melihat seorangpun di antara mereka yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah berikut: … Dan kami tidak akan mengganggu penguasa pada urusannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ada 3 perkara yang hati seorang muslim tidak akan dengki terhadapnya: Mengikhlaskan amalan untuk Allah, menaati penguasa, dan komitmen dengan al-jamaah, karena doa kepada penguasa akan mengenai juga rakyatnya.”
4. Abdurrahman bin Abu Hatim Muhammad bin Idris.
Beliau berkata, “Kami mendengar dan taat kepada kepada orang yang Allah Azza wa Jalla serahkan urusan kami kepadanya.”
Beliau berkata, “Kami mendengar dan taat kepada kepada orang yang Allah Azza wa Jalla serahkan urusan kami kepadanya.”
5. Sahl bin Abdillah At-Tasturi.
Beliau pernah ditanya, “Kapan seseorang mengetahui kalau dirinya berada di atas sunnah? Beliau menjawab, “Jika dia mengetahui kalau dalam dirinya adal 10 perkara.” Di antara yang beliau sebutkan adalah, “Tidak meninggalkan shalat berjamaah di belakang setiap penguasa, penguasa yang curang maupun yang adil.
Beliau pernah ditanya, “Kapan seseorang mengetahui kalau dirinya berada di atas sunnah? Beliau menjawab, “Jika dia mengetahui kalau dalam dirinya adal 10 perkara.” Di antara yang beliau sebutkan adalah, “Tidak meninggalkan shalat berjamaah di belakang setiap penguasa, penguasa yang curang maupun yang adil.
Maka semua dalil-dalil di atas ditambah
dengan kesepakatan para ulama salaf di berbagai zaman dan tempat,
menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemerintah bukanlah masalah kecil
atau masalah sampingan dalam agama. Bahkan dia merupakan salah satu
tonggak tegaknya agama, karena tanpa adanya ketaatan kepada penguasa
maka yang ada adalah kerusakan dimana-mana, dan keadaan yang kacau
jelas mempengaruhi keberagamaan setiap orang.
Karenanya, kebiasaan untuk tidak taat
kepada penguasa bukanlah kebiasaan kaum muslimin. Bahkan kebiasaan ini
merupakan kebiasaan orang-orang musyrikin jahiliah sebelum terutusnya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil
Wahhab berkata dalam Masa`il Al-Jahiliah, “Perilaku jahiliah yang
ketiga: Mereka menganggap bahwa menyelisihi penguasa dan tidak taat
kepadanya adalah suatu keutamaan, sementara mendengar dan taat kepadnya
adalah kerendahan dan kehinaan. Maka Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam menyelisihi mereka, dan beliau memerintahkan untuk mendengar
dan taat kepadanya serta menasehatinya. Beliau sangat tegas
memerintahkan hal tersebut, betul-betul menjelaskannya secara gamblang,
dan beliau selalu mengulang-ulanginya.”
Walaupun demikian keadaannya, Allah
Ta’ala dan Rasul-Nya memberikan pembatasan dalam menaati pemerintah
sebagaimana diberikannya pembatasan dalam menaati ulama. Karena seluruh
manusia sepandai dan sekuat apapun dia pasti akan memerintahkan
kesalahan, kecuali para nabi dan rasul. Karenanya dalil-dalil di atas,
selain memerintahkan untuk taat kepada penguasa, dalil tersebut juga
menegaskan bahwa ketaatan kepada mereka hanya terbatas jika mereka
tidak memerintahkan kemaksiatan.
Imam Ibnu Abdil Izz dalam Syarh
Ath-Thahawiah hal. 381 berkata menjelaskan ayat dalam surah An-Nisa` di
atas, “Kenapa Allah berfirman, “Dan taatilah,” tapi tidak berfirman,
“Dan taatilah ulil amri di antara kalian?” Hal itu karena pemerintah
tidak berdiri sendiri dalam hal ditaati, akan tetapi mereka hanya
ditaati pada perkara yang merupakan ketaatan kepada Alah dan Rasul-Nya.
Allah mengulangi perintah (taatilah) pada Ar-Rasul karena siapa saja
yang menaati Ar-Rasul maka sungguh dia telah taat kepada Allah, dan
karena Ar-Rasul tidaklah pernah memerintahkan ketidaktaatan kepada
Allah, bahkan beliau ma’shum dalam hal itu. Adapun pemerintah, maka
terkadang dia memerintahkan ketidaktaatan kepada Allah. Karenanya dia
tidak ditaati kecuali jika perintahnya merupakan ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya.”
Adapun hadits Ibnu Umar di atas maka
sangat tegas menunjukkan apa yang kita sebutkan di atas. Hanya saja di
sini ada satu catatan penting yang harus digarisbawahi, yaitu: Bahwa
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Akan tetapi jika dia
diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk
mendengar dan taat.” TIDAKLAH menunjukkan bahwa ketaatan kepada
pemerintah akan gugur selama-lamanya kapan sekali saja mereka
memerintahkan kemaksiatan, tidak sama sekali. Karena hal itu akan
bertentangan dengan dalil-dalil lain yang memerintahkan untuk selalu
taat kepada pemerintah selama perintahnya bukan kemaksiatan. Akan
tetapi yang dimaksud dalam hadits itu adalah bahwa kapan pemerintah
memerintahkan kemaksiatan maka tidak boleh ditaati, akan tetapi jika
setelah itu dia kembali memerintahkan kebaikan, maka kita kembali wajib
untuk menaatinya.
Bagaimana dengan perintah penguasa yang
sifatnya bukan ketaatan dan bukan pula maksiat? Misalnya peraturan atau
keputusan pemerintah yang dibuat dalam masalah duniawiah.
Berdasarkan semua dalil di atas maka kita tetap wajib menaatinya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengecualikan satu keadaan untuk kita boleh tidak taat kepada mereka, yaitu jika perintah mereka adalah kemaksiatan. Artinya, perintah penguasa selain dari kemasiatan tetap wajib untuk kita dengarkan, terlebih lagi jika perintah atau keputusan itu dibuat untuk kemaslahatan kaum muslimin itu sendiri. Wallahu a’lam
Berdasarkan semua dalil di atas maka kita tetap wajib menaatinya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengecualikan satu keadaan untuk kita boleh tidak taat kepada mereka, yaitu jika perintah mereka adalah kemaksiatan. Artinya, perintah penguasa selain dari kemasiatan tetap wajib untuk kita dengarkan, terlebih lagi jika perintah atau keputusan itu dibuat untuk kemaslahatan kaum muslimin itu sendiri. Wallahu a’lam
Kapan Kita Memberontak?
Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu dia berkata:
فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا
وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ
الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ
اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Di antara janji yang beliau ambil dari kami adalah: Agar kami berbaiat kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan taat (kepada penguasa), baik perintahnya kami senangi maupun ketika perintahnya kami benci (menzhalimi), dan baik ketika kami kesulitan maupun ketika kami dalam keadaan lapang, dan agar kami lebih mementingkan mereka dalam urusan dunia, dan agar kami tidak mengganggu urusan penguasa.” Beliau bersabda, “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang kalian mempunyai alasan yang jelas dari Allah tentang kekafiran tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6532 dan Muslim no.1709)
Dari Auf bin Malik radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:“Di antara janji yang beliau ambil dari kami adalah: Agar kami berbaiat kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan taat (kepada penguasa), baik perintahnya kami senangi maupun ketika perintahnya kami benci (menzhalimi), dan baik ketika kami kesulitan maupun ketika kami dalam keadaan lapang, dan agar kami lebih mementingkan mereka dalam urusan dunia, dan agar kami tidak mengganggu urusan penguasa.” Beliau bersabda, “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang kalian mempunyai alasan yang jelas dari Allah tentang kekafiran tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6532 dan Muslim no.1709)
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ
تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ
عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ
وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا
فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا
تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang mereka membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bolehkan kami memerangi mereka?” Beliau menjawab, “Tidak, selagi mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas diri dari ketaatan kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1855)
Dari Ummu Salamah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang mereka membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bolehkan kami memerangi mereka?” Beliau menjawab, “Tidak, selagi mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas diri dari ketaatan kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1855)
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ
وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ
مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا
صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, kalian mengenal mereka namun kalian mengingkari (perbuatan mereka). Maka siapa yang tahu (kemungkarannya) maka hendaklah berlepas diri, dan barangsiapa yang mengingkari maka dia telah selamat. Akan tetapi (yang berdosa adalah) siapa yang ridha dan mengikuti.” Para sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?” Beliau menjawab: “Tidak! Selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim no. 1854)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Akan datang para penguasa, kalian mengenal mereka namun kalian mengingkari (perbuatan mereka). Maka siapa yang tahu (kemungkarannya) maka hendaklah berlepas diri, dan barangsiapa yang mengingkari maka dia telah selamat. Akan tetapi (yang berdosa adalah) siapa yang ridha dan mengikuti.” Para sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?” Beliau menjawab: “Tidak! Selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim no. 1854)
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa yang tidak menyukai kebijakan amir (pemimpinnya) maka hendaklah bersabar, sebab siapapun yang keluar dari ketaatan kepada amir walaupun sejengkal, maka dia mati seperti matinya orang jahiliah.” (HR. Al-Bukhari no. 7143 dan Muslim no. 1849)
“Siapa yang tidak menyukai kebijakan amir (pemimpinnya) maka hendaklah bersabar, sebab siapapun yang keluar dari ketaatan kepada amir walaupun sejengkal, maka dia mati seperti matinya orang jahiliah.” (HR. Al-Bukhari no. 7143 dan Muslim no. 1849)
Penjelasan ringkas:
Setelah pada postingan yang telah lalu kami membawakan dalil-dalil akan wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa, maka pada postingan kali ini kita akan berbicara mengenai hukum seputar khuruj (keluar dari ketaatan) atas pemerintah yang zhalim. Adapun pemerintah yang adil maka tidak perlu dibicarakan, karena saya kira semua sekte dalam Islam telah bersepakat akan wajibnya taat kepada pemerintah yang adil, walaupun syarat-syarat pemerintah yang adil berbeda-beda di antara mereka. Di antara mereka meyakini pemerintah nanti dikatakan adil jika dia berasal dari pihak kami atau mewakili aspirasi kami, ada yang meyakini bahwa pemerintah yang adil adalah jika dia berasal dari ahlul bait, ada yang meyakini bahwa selama tidak ada khilafah Islamiah di muka bumi ini maka tidak akan ada pemerintahan yang adil. Syarat-syarat adil menurut mereka ini tentu saja salah besar, karena keadilan yang sebenarnya adalah apa yang Allah dan Rasul-Nya katakan sebagai keadilan. Sementara tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa apa yang mereka yakini itu merupakan keadilan. Ala kulli hal, khuruj atas pemerintah yang zhalim adalah hal yang diharamkan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil di atas dan selainnya yang sangat banyak.
Setelah pada postingan yang telah lalu kami membawakan dalil-dalil akan wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa, maka pada postingan kali ini kita akan berbicara mengenai hukum seputar khuruj (keluar dari ketaatan) atas pemerintah yang zhalim. Adapun pemerintah yang adil maka tidak perlu dibicarakan, karena saya kira semua sekte dalam Islam telah bersepakat akan wajibnya taat kepada pemerintah yang adil, walaupun syarat-syarat pemerintah yang adil berbeda-beda di antara mereka. Di antara mereka meyakini pemerintah nanti dikatakan adil jika dia berasal dari pihak kami atau mewakili aspirasi kami, ada yang meyakini bahwa pemerintah yang adil adalah jika dia berasal dari ahlul bait, ada yang meyakini bahwa selama tidak ada khilafah Islamiah di muka bumi ini maka tidak akan ada pemerintahan yang adil. Syarat-syarat adil menurut mereka ini tentu saja salah besar, karena keadilan yang sebenarnya adalah apa yang Allah dan Rasul-Nya katakan sebagai keadilan. Sementara tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa apa yang mereka yakini itu merupakan keadilan. Ala kulli hal, khuruj atas pemerintah yang zhalim adalah hal yang diharamkan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil di atas dan selainnya yang sangat banyak.
Adapun hikmah diharamkannya khuruj atas penguasa adalah:
1. Khuruj atas mereka mengharuskan lahirnya kekacauan, perpecahan, dan perselisihan yang akan merusak keamanan dalam negeri, merusakan perekonomianm rakyat, dan sangat mengganggu jalannya aktifitas keseharian dari kaum muslimin.
2. Khuruj atas mereka juga mengharuskan melemahnya persatuan dan kesatuan yang mengantarkan kepada melemahnya kekuatan negara. Hal ini tentu akan dimanfaatkan oleh musuh dari luar negeri untuk menyerang negeri kaum muslimin.
3. Menjaga darah kaum muslimin, karena kalau mereka melawan maka tentunya akan timbul banyak korban dari rakyat sipil yang tidak berdosa.
4. Mencegah timbulnya perang saudara sesama muslim. Karena rakyat yang memberontak adalah muslim, sementara pelindung penguasa dalam hal ini polisi atau tentara juga adalah kaum muslimin.
5. Tidaklah Allah menguasakan pemerintah yang zhalim kepada suatu kaum kecuali kaum itu sendiri juga adalah kaum yang zhalim. Allah berfirman yang artinya, “Demikianlah kami menjadikan sebagian orang zhalim menguasai orang zhalim lainnya akibat dosa yang mereka perbuat.” (QS. Al-An’am: 129)
Karenanya, satu-satunya cara untuk lepas dari pemerintah yang zhalim adalah dengan cara bersabar agar dosa-dosa kita diampuni oleh Allah. Dan kapan dosa-dosa kita telah diampuni oleh Allah dan kita sudah tidak tergolong ke dalam golongan orang-orang yang zhalim, maka barulah Allah akan menguasakan atas kita seorang pemimpin yang adil pula.
1. Khuruj atas mereka mengharuskan lahirnya kekacauan, perpecahan, dan perselisihan yang akan merusak keamanan dalam negeri, merusakan perekonomianm rakyat, dan sangat mengganggu jalannya aktifitas keseharian dari kaum muslimin.
2. Khuruj atas mereka juga mengharuskan melemahnya persatuan dan kesatuan yang mengantarkan kepada melemahnya kekuatan negara. Hal ini tentu akan dimanfaatkan oleh musuh dari luar negeri untuk menyerang negeri kaum muslimin.
3. Menjaga darah kaum muslimin, karena kalau mereka melawan maka tentunya akan timbul banyak korban dari rakyat sipil yang tidak berdosa.
4. Mencegah timbulnya perang saudara sesama muslim. Karena rakyat yang memberontak adalah muslim, sementara pelindung penguasa dalam hal ini polisi atau tentara juga adalah kaum muslimin.
5. Tidaklah Allah menguasakan pemerintah yang zhalim kepada suatu kaum kecuali kaum itu sendiri juga adalah kaum yang zhalim. Allah berfirman yang artinya, “Demikianlah kami menjadikan sebagian orang zhalim menguasai orang zhalim lainnya akibat dosa yang mereka perbuat.” (QS. Al-An’am: 129)
Karenanya, satu-satunya cara untuk lepas dari pemerintah yang zhalim adalah dengan cara bersabar agar dosa-dosa kita diampuni oleh Allah. Dan kapan dosa-dosa kita telah diampuni oleh Allah dan kita sudah tidak tergolong ke dalam golongan orang-orang yang zhalim, maka barulah Allah akan menguasakan atas kita seorang pemimpin yang adil pula.
Bagaimana saja bentuk khuruj atas pemerintah?
Secara umum ada 3 bentuk yang tentu saja semuanya diharamkan dalam Islam:
1. Khuruj dengan hati.
Yakni dengan meyakini bolehnya khuruj atas penguasa yang zhalim, atau meyakini bahwa pemerintahan yang ada sekarang bukanlah pemerintah yang syah.
2. Khuruj dengan lisan/lidah.
Yakni dengan cara mengumbar kejelekan dan aib penguasa di depan umum, baik secara langsung maupun melalui media elektronik dan media massa, baik dengan berorasi maupun saat obrolan biasa, baik lewat demon crazy (baca: demonstrasi) maupun lewat kajian-kajian agama.
3. Khuruj dengan perbuatan atau kekuatan
Yakni dengan cara merebut kepemimpinan penguasa sebelumnya dengan cara kudeta atau pemberontakan. Termasuk juga di dalamnya merebut kekuasaan dengan menggunakan paksaan massa yang kita kenal dengan istilah Pilpres.
Dan butuh dicamkan bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan melakukan salah satu dari ketiga jenis khuruj ini maka matinya seperti matinya orang-orang jahiliah. Yakni karena orang-orang jahiliah meyakini tidak wajibnya taat kepada penguasa sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Masa`il Al-Jahiliah masalah yang ketiga.
Secara umum ada 3 bentuk yang tentu saja semuanya diharamkan dalam Islam:
1. Khuruj dengan hati.
Yakni dengan meyakini bolehnya khuruj atas penguasa yang zhalim, atau meyakini bahwa pemerintahan yang ada sekarang bukanlah pemerintah yang syah.
2. Khuruj dengan lisan/lidah.
Yakni dengan cara mengumbar kejelekan dan aib penguasa di depan umum, baik secara langsung maupun melalui media elektronik dan media massa, baik dengan berorasi maupun saat obrolan biasa, baik lewat demon crazy (baca: demonstrasi) maupun lewat kajian-kajian agama.
3. Khuruj dengan perbuatan atau kekuatan
Yakni dengan cara merebut kepemimpinan penguasa sebelumnya dengan cara kudeta atau pemberontakan. Termasuk juga di dalamnya merebut kekuasaan dengan menggunakan paksaan massa yang kita kenal dengan istilah Pilpres.
Dan butuh dicamkan bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan melakukan salah satu dari ketiga jenis khuruj ini maka matinya seperti matinya orang-orang jahiliah. Yakni karena orang-orang jahiliah meyakini tidak wajibnya taat kepada penguasa sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Masa`il Al-Jahiliah masalah yang ketiga.
Kalau memilih presiden dengan pilpres termasuk kudeta, trus bagaimana cara memilih pimpinan yang benar dalam syariat Islam?
Ada 2 cara pemilihan pimpinan yang syar’i:
1. Ditunjuk langsung oleh pemerintah sebelumnya sebelum dia meninggal. Ini sebagaimana yang terjadi pada Umar bin Al-Khaththab yang ditunjuk langsung oleh Abu Bakar.
2. Dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, yaitu sekumpulan ulama dan tokoh/orang-orang tua yang berpengalaman dalam kepemimpinan. Ini berbeda dengan DPR/MPR karena di dalamnya bukanlah ulama dan tidak semua mempunyai pengalaman dalam kepemimpinan. Contoh cara ini adalah terpilihnya Utsman bin Affan dari 6 orang sahabat yang ditunjuk oleh Umar sebelum beliau meninggal. Dan juga terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah oleh sebagian kecil sahabat yang mereka ini adalah ahlul halli wal aqdi.
Ada 2 cara pemilihan pimpinan yang syar’i:
1. Ditunjuk langsung oleh pemerintah sebelumnya sebelum dia meninggal. Ini sebagaimana yang terjadi pada Umar bin Al-Khaththab yang ditunjuk langsung oleh Abu Bakar.
2. Dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, yaitu sekumpulan ulama dan tokoh/orang-orang tua yang berpengalaman dalam kepemimpinan. Ini berbeda dengan DPR/MPR karena di dalamnya bukanlah ulama dan tidak semua mempunyai pengalaman dalam kepemimpinan. Contoh cara ini adalah terpilihnya Utsman bin Affan dari 6 orang sahabat yang ditunjuk oleh Umar sebelum beliau meninggal. Dan juga terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah oleh sebagian kecil sahabat yang mereka ini adalah ahlul halli wal aqdi.
Kalau memang pilpres adalah kudeta, kenapa ahlussunnah menerima hasilnya?
Kami menerima hasilnya karena memang dia syah sebagai pemimpin. Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam Ushul As-Sunnah, “Siapa saja yang khuruj atas seorang penguasa dari para penguasa kaum muslimin -padahal manusia (kaum muslimin) telah sepakat memilihnya dan mengakui kekuasaannya, bagaimanapun caranya dia menjadi pimpinan, dengan cara ridha maupun dengan kekuatan (dominasi)- maka orang yang khuruj ini telah memecahkan tongkat persatuan kaum muslimin.” Semisal dengannya dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Lum’ah Al-I’tiqad. Maka ini menunjukkan bahwa para ulama ahlussunnah menganggap penguasa yang berkuasa lewat kudeta adalah penguasa yang syah. Dan ini pula yang menjadi keyakinan dan amalan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bagaimana ketika Muawiah bin Abi Sufyan radhiallahu anhuma mengkudeta Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu dan juga Hajjaj bin Yusuf mengkudeta Abdullah bin Az-Zubair. Dan para sahabat yang masih hidup ketika itu semuanya menerima kepemimpinan Muawiah dan Hajjaj, walaupun tentunya mereka tetap meyakini bahwa keduanya telah melakukan kesalahan dengan melakukan khuruj atas pemerintah sebelumnya.
Kami menerima hasilnya karena memang dia syah sebagai pemimpin. Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam Ushul As-Sunnah, “Siapa saja yang khuruj atas seorang penguasa dari para penguasa kaum muslimin -padahal manusia (kaum muslimin) telah sepakat memilihnya dan mengakui kekuasaannya, bagaimanapun caranya dia menjadi pimpinan, dengan cara ridha maupun dengan kekuatan (dominasi)- maka orang yang khuruj ini telah memecahkan tongkat persatuan kaum muslimin.” Semisal dengannya dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Lum’ah Al-I’tiqad. Maka ini menunjukkan bahwa para ulama ahlussunnah menganggap penguasa yang berkuasa lewat kudeta adalah penguasa yang syah. Dan ini pula yang menjadi keyakinan dan amalan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bagaimana ketika Muawiah bin Abi Sufyan radhiallahu anhuma mengkudeta Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu dan juga Hajjaj bin Yusuf mengkudeta Abdullah bin Az-Zubair. Dan para sahabat yang masih hidup ketika itu semuanya menerima kepemimpinan Muawiah dan Hajjaj, walaupun tentunya mereka tetap meyakini bahwa keduanya telah melakukan kesalahan dengan melakukan khuruj atas pemerintah sebelumnya.
Kalau begitu, apakah kudeta sama sekali tidak ada di dalam ajaran Islam?
Tentu saja ada, berdasarkan hadits Ubadah, Auf bin Malik, dan Ummu Salamah di atas. Karena, Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang sahabat untuk mengkudeta penguasa selama penguasanya masih muslim yang tercermin dengan dia masih mengerjakan shalat. Maka dari sini ada isyarat bahwa kapan penguasanya bukan seorang muslim yang di antara tandanya adalah dia tidak mengerjakan shalat maka BOLEH (bukan wajib dan bukan pula sunnah) ketika itu untuk melakukan kudeta.
Tentu saja ada, berdasarkan hadits Ubadah, Auf bin Malik, dan Ummu Salamah di atas. Karena, Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang sahabat untuk mengkudeta penguasa selama penguasanya masih muslim yang tercermin dengan dia masih mengerjakan shalat. Maka dari sini ada isyarat bahwa kapan penguasanya bukan seorang muslim yang di antara tandanya adalah dia tidak mengerjakan shalat maka BOLEH (bukan wajib dan bukan pula sunnah) ketika itu untuk melakukan kudeta.
Jadi, syarat bolehnya kudeta hanya satu, yaitu jika penguasanya kafir?
Bukan hanya satu tapi ada 4 syarat yang lainnya, yang kapan salah satunya tidak terpenuhi maka haram melakukan kudeta. Selengkapnya, kelima syarat itu adalah:
1. Nampak kekafiran yang jelas padanya, sebagaimana dalam hadits Ubadah di atas. Jadi tidak cukup jika kekafirannya belum jelas atau masih samar-samar apalagi sekedar main kafirkan seenaknya.
2. Punya kecukupan dan kemampuan sendiri baik dari sisi personil maupun persenjataan sehingga dia tidak butuh bantuan kepada orang luar. Karena dikhawatirkan jika ada pihak luar yang membantu, justru pihak luar itu yang akan memanfaatkan mereka untuk merebut kekuasaan negara mereka sendiri.
3. Mafsadat yang lahir dari kudeta lebih kecil daripada mafsadat yang lahir jika mereka tidak kudeta. Kapan mafsadatnya lebih lebih besar maka tidak boleh kudeta, misalnya jika pertempuran nantinya hanya akan terjadi di antara sesama kaum muslimin.
4. Yakin atau dugaan besar bisa menang. Kapan tidak ada kepastian maka tidak boleh kudeta karena hanya akan melahirkan banyak korban sementara maslahat yang ingin diraih tidak bisa dicapai.
5. Sudah ada calon pengganti sebelum terjadinya kudeta. Yakni sebelum melakukan kudeta, kaum muslimin sudah harus bersepakat menunjuk satu orang sebagai pemimpin kelak jika mereka sudah berhasil. Kapan calon pengganti belum ditunjuk atau belum disepakati maka tidak boleh melakukan kudeta. Karena kapan kudeta berhasil sementara tidak ada calon yang disepakati maka dikhawatirkan akan timbul perang saudara karena memperebutkan kekuasaan. Wallahu a’lam bishshawab
Bukan hanya satu tapi ada 4 syarat yang lainnya, yang kapan salah satunya tidak terpenuhi maka haram melakukan kudeta. Selengkapnya, kelima syarat itu adalah:
1. Nampak kekafiran yang jelas padanya, sebagaimana dalam hadits Ubadah di atas. Jadi tidak cukup jika kekafirannya belum jelas atau masih samar-samar apalagi sekedar main kafirkan seenaknya.
2. Punya kecukupan dan kemampuan sendiri baik dari sisi personil maupun persenjataan sehingga dia tidak butuh bantuan kepada orang luar. Karena dikhawatirkan jika ada pihak luar yang membantu, justru pihak luar itu yang akan memanfaatkan mereka untuk merebut kekuasaan negara mereka sendiri.
3. Mafsadat yang lahir dari kudeta lebih kecil daripada mafsadat yang lahir jika mereka tidak kudeta. Kapan mafsadatnya lebih lebih besar maka tidak boleh kudeta, misalnya jika pertempuran nantinya hanya akan terjadi di antara sesama kaum muslimin.
4. Yakin atau dugaan besar bisa menang. Kapan tidak ada kepastian maka tidak boleh kudeta karena hanya akan melahirkan banyak korban sementara maslahat yang ingin diraih tidak bisa dicapai.
5. Sudah ada calon pengganti sebelum terjadinya kudeta. Yakni sebelum melakukan kudeta, kaum muslimin sudah harus bersepakat menunjuk satu orang sebagai pemimpin kelak jika mereka sudah berhasil. Kapan calon pengganti belum ditunjuk atau belum disepakati maka tidak boleh melakukan kudeta. Karena kapan kudeta berhasil sementara tidak ada calon yang disepakati maka dikhawatirkan akan timbul perang saudara karena memperebutkan kekuasaan. Wallahu a’lam bishshawab
Sumber: http://dedyarieswan.blogspot.com/2013/01/wajib-taat-kepada-pemimpinpenguasa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar