“Siapa yang mengatakan : Saya tidak mengetahui Rabbku apakah Dia di langit atau di bumi, maka dia kafir, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
dan Arsy-Nya di atas tujuh langit”. Maka Abu Muti’ Al-Hakam bin Abdillah Al-Balkhy mengatakan kepada beliau : “(Bagaimana hukumnya) Apabila ada yang mengatakan bahwa Allah di atas Arsy istiwa` akan tetapi dia mengatakan bahwasanya saya tidak mengetahui apakah Arsy itu di langit atau di bumi ?”, beliau mengatakan : “Dia kafir sebab ia mengingkari akan keberadaannya di atas langit, karena sesungguhnya Allah Ta’ala berada di atas tempat yang paling tinggi dan Dia dimintai (do’a) dari atas dan bukan dari bawah”. (Lihat : Al-Fiqhul Akbar riwayat Abu Muthi’ hal. 40-44, Al-‘Uluw hal. 101-102 dan Mukhtashor Al-‘Uluw hal. 126)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah setelah membawakan atsar ini : “Pada perkataan Abu Hanifah -di sisi para shahabatnya- yang masyhur ini (terkandung pengertian) bahwa ia mengkafirkan orang yang tawaqquf (tidak menentukan sikap) yaitu orang yang mengatakan : “Saya tidak mengetahui Rabbku apakah di langit atau di bumi”, maka bagaimana lagi (hukumnya) terhadap oyang yang
menentang yang menafikannya (menolak Allah ada di atas langit) dan mengatakan : “(Allah) tidak ada di atas langit atau (dia mengatakan bahwa Allah) tidak ada di bumi dan tidak pula ada di atas langit???”, (Beliau) berhujjah atas kekafirannya dengan firman Allah :
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
beliau berkata : “Dan Arsy-Nya di atas tujuh langitNya”.”
►Perkataan Imam Malik bin Anas :
Dari Yahya bin Yahya, beliau berkata : “Ketika kami berada di sisi Malik bin Anas maka datang seorang laki-laki kemudian dia mengatakan : “Wahai Abu ‘Abdillah (kunyah Imam Malik)
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
bagaimana istiwa` ?”. Maka Imam Malik menundukan kepalanya sampai beliau bercucuran keringat kemudian beliau mengatakan : “Istiwa` itu dipahami, kaifiyatnya (bagaimananya) tidak diketahui sedangkan beriman dengannya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah, dan saya tidak melihatmu kecuali seorang mubtadi’. Maka Imam Malik memerintahkan agar orang itu dikeluarkan.” Lihat : Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah 2/398, Al-Asma` wa Ash-Shifat karya Al-Baihaqy 2/150-151, Ar-Rod ‘Alal Jahmiyah karya Ad-Darimy hal. 33 dan Al-‘Uluw hal. 102 dan selainnya.
►Berkata Imam Syafi’iy :
Perkara dalam sunnah yang saya berada diatasnya dan yang saya melihat sahabat-sahabat kami yaitu para ahli hadits yang saya lihat dan saya mengambil (hadits) dari mereka seperti : Sufyan dan Malik dan selain keduanya (yaitu) : Berikrar dengan syahadat bahwa tidak ada Ilah yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah dan bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya di atas langit, mendekat kepada hamba-Nya sesuai kehendak-Nya dan bahwa Allah turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya. (Ijtima`ul Juyusy hal. 122 dan Mukhtasur ‘Uluw hal. 176)
►Adapun Imam Ahmad
maka beliau ini dikenal dan tersohor dalam membela madzhab yang haq ini, bahkan beliau mengarang suatu kitab yang agung (yaitu) Ar-Rodd ‘Alal Jahmiyah waz-Zanadiqoh. Perkataan Abul Hasan Al-Asy’ary rahimahullah[1] dalam kitabnya Ikhtilaful Mushollin wa Maqalatul Islamiyyin hal. 16 : “…Perkataan Ahlus Sunnah dan Ashabul hadits secara ringkas adalah Pengikraran terhadap Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan apa-apa yang datang dari Allah dan apa-apa yang diriwayatkan Ats-Tsiqot (rawi-rawi terpercaya) dari Rasulullah, mereka tidak menolak sedikitpun dari hal tersebut bahwa Allah itu Satu, Esa, Sendiri, Maha Tegak, tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia …, dan bahwa Allah di atas Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya Ta’ala :
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)”
Hukum Bagi Yang Mengingkari Sifat Al-‘Uluw dan Istiwa’
Telah berlalu sebagian ucapan para Imam tentang hal ini. Dan berikut ini beberapa tambahan dari ucapan para ‘ulama Ahlus Sunnah :
@ Berkata Ibnu Khuzaimah rahimahullah
: “Siapa yang tidak mengatakan bahwa Allah itu berada di atas
langit-langit-Nya tinggi dan menetap di atas Arsy-Nya berpisah dari
makhluk-Nya maka wajib dimintai tobat apabila dia bertobat maka diterima
kalau tidak maka dipenggal lehernya kemudian dilemparkan ke tempat
sampah agar manusia tidak terganggu dengan baunya”. (Disebutkan oleh
Al-Hakim dalam Ma’rifatil ‘Ulumul Hadits hal. 152 dan Mukhtashor ‘Uluw hal. 225).
@ Perkataan Imam ‘Abdurrahman bin Mahdy, sesungguhnya beliau
berkata : “Tidak ada pengikut hawa nafsu yang lebih jelek dari pengikut
Jahm (Jahmiyah) yang menyatakan bahwa tidak ada di atas langit sesuatu
apapun, saya berpendapat –demi Allah-, mereka ini tidak boleh dinikahi
dan tidak boleh diwarisi”. Lihat As-Sunnah karya Imam ‘Abdullah bin Ahmad 1/120, Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah 1/220 dan lain-lainnya.
@ Dan ‘Abdurrahman bin Abi Hatim meriwayatkan -dalam kitab Ar-Rodd ‘Alal Jahmiyah-
dari ‘Abdurrahman bin Mahdy bahwa beliau berkata : “Pengikut Jahm
mengatakan : “Sesungguhnya Allah tidak mengajak bicara Nabi Musa”, dan
mereka mengatakan : “Tidak ada di atas langit sesuatu apapun dan bahwa
Allah tidak berada di atas Arsy”. Saya berpendapat mereka harus diminta
bertobat, kalau mereka bertobat (maka itu yang diharapkan) dan bila
tidak maka mereka harus dibunuh”. Lihat Al-Asma` wa Ash-Shifat 1/286, Al-’Uluw hal. 118, Ijtima‘ul Juyusy hal. 264 dan selainnya.
@ Dan dari Al-Ashma’iy dia berkata : Istri Jahm datang lalu
singgah di tempat tukang samak maka berkatalah seorang lelaki
disampingnya : “Allah berada di atas Arsy-Nya, maka dia (istri Jahm)
berkata : “keterbatasan di atas keterbatasan”. Maka berkata Al-Ashma’iy :
“Dia (istri Jahm) kafir dengan perkataan seperti ini”. Lihat Al-‘Uluw hal. 118 dan Mukhtashor Al-’Uluw hal. 270.
@ Dan Imam Ad-Darimy dalam kitabnya Ar-Rodd ‘Alal Jahmiyah
membuat bab khusus (dengan judul) Bab Argumen Tentang Pengkafiran
Jahmiyah, dan didalamnya (beliau mengatakan) : “… dan kita mengkafirkan
mereka juga karena mereka tidak tahu dimana Allah, tidak mensifati
Allah dengan “dimana” padahal Allah telah mensifatkan dirinya dengan
“dimana” dan Ar-Rasul shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam juga mensifatkan Allah dengannya, maka Allah berfirman :
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-An’am : 18)
إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ
“Sesungguhnya Aku akan mengambilmu[2] dan mengangkat kamu kepada-Ku”. (QS. Ali ‘Imran : 55).
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka”. (QS. An-Nahl : 50)
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia
akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba
bumi itu bergoncang?,”.(QS. Al-Mulk : 16)
dan ayat-ayat yang semisalnya, maka ini semua adalah pensifatan dengan “dimana”. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mensifati (Allah) dengan “dimana” tatkala beliau bertanya kepada budak wanita yang hitam : “Dimana Allah ?”, dia menjawab : “Di atas langit”, beliau berkata : “Siapa saya ?”, dia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”, beliau lalu berkata : “Bebaskan dia karena dia adalah seorang wanita yang beriman”. Dan Jahmiyah dikafirkan dengan hal ini dan ini juga termasuk dari kekufuran mereka yang jelas”.
Dan beliau berkata : “Dan mereka (Jahmiyah) juga mengarahkan ibadah mereka kepada Ilah
yang berada di bawah bumi yang paling bawah dan di atas permukaan bumi
yang paling atas, di bawah langit yang ketujuh yang paling tinggi.
Padahal sembahannya orang-orang yang shalat dari kalangan kaum mukminin
yang mereka mengarahkan ibadah mereka kepada-Nya adalah Ar-Rahman yang
berada di atas langit yang tujuh yang paling tinggi dan Dia Tinggi dan
Menetap atas Arsy-Nya yang maha besar dan hanya milik-Nya nama-nama yang
Husna (indah),
Maha Berkah dan Tinggi nama-Nya. Maka kekafiran yang mana yang lebih
jelas daripada apa yang kami hikayatkan dari mereka (Jahmiyah) selain
dari (kekafiran) madzhab mereka”. Lihat Ar-Rodd ‘alal Jahmiyah hal. 202-203.
(Lihat juga Ikhtilaf Ahlil Qiblat fil ‘Arsy hal. 211 dan Al-Ibanah Fii Usulid Diyanah).
Dinukil dr. by Abu Muawiah Perkataan Para Ulama Tentang Keberadaan Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar